Sabtu, 27 September 2014

poligami di Indonesia

ibda'binafsik A. INDONESIA: ANTARA KEWAJIBAN INTERNASIONAL DAN KETAATAN TERHADAP ULAMA Hukum Indonesia tampaknya terjebak antara kewajiban internasional sebagai negara yang meratifikasi UDHR dan CEDAW di suatu sisi. Sementara di sisi lain, Indonesia masih dipengaruhi oleh tuntutan ketaatan terhadap penafsiran ulama khususnya ulama klasik yang masih mendominasi hukum kekeluargaan. Sebagaimana kebanyakan negara Muslim lainnya, hukum Indonesia membolehkan poligami dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap istri yang dipoligami. Dalam ketentuan Pasal 55-59 Kompilasi Hukum Islam yang secara khusus membahas poligami dinyatakan bahwa di antara syarat bolehnya poligami adalah adanya alasan yang dapat diterima serta telah mendapatkan izin poligami dari isteri dan adanya kemampuan berlaku adil dan kemampuan materi bagi suami yang akan berpoligami. Meskipun memiliki pensyaratan, akan tetapi tidak adanya ketegasan hukum dari KHI menunjukkan kurangnya perhatian dan jaminan perlindungan hak wanita, khususnya isteri yang akan dipoligami. Setidaknya ada beberapa ketentuan yang dipandang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia: a. Terabaikannya hak-hak istri pertama disebabkan prosedur izin yang tidak tegas Izin dari isteri menurut ketetapan KHI bukanlah pensyaratan yang mutlak harus dipenuhi. Pasal 59 KHI menyatakan bolehnya pengecualian izin jika pengadilan memandang perlunya poligami. Ketetapan ini jelas merugikan dan mengabaikan hak istri sebagai istri pertama. Kenyataan di lapangan menunjukkan beberapa kasus di mana Pengadilan Agama memberikan izin poligami padahal isteri tidak rela untuk dipoligami. Misalnya, dalam sebuah kasus istri pertama tidak setuju untuk dimadu, akan tetapi pengadilan tetap mengabulkan pemohon dengan alasan calon istri kedua telah terlanjur hamil 8 bulan dan meminta pertanggungjawaban. Ironisnya, celah accident tampaknya menjadi tern bagi laki-laki yang berkeinginan untuk melakukan poligami. Ini terlihat dalam sebuah studi kasus di Kab. Bantul, Yogyakarta. Pada tahun 2007-2009, dari 46 kasus poligami yang dikabulkan, 11 di antaranya disebabkan karena pemohon (suami) sudah berhubungan badan dengan calon isteri kedua dan 11 lainnya dikarenakan calon isteri kedua sudah terlanjur hamil. Bahkan 5 lainnya hanya dengan alasan semata cinta. b. Pembolehan poligami dengan alasan masalah keturunan dan hiperseksual merupakan bentuk diskriminasi terhadap wanita Alasan bahwa poligami yang didominasi karena isteri tidak dapat memberikan keturunan merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap wanita. Secara umum, ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kesuksesan sebuah perkawinan ditentukan salah satunya oleh kapasitas reproduksi wanita. Hukum ini menunjukkan adanya kecenderungan peran stereotype berbasis gender yang mana ditolak oleh CEDAW dalam Pasal 5. Dalil-dalil poligami juga menunjukkan bahwa landasan bolehnya poligami sebenarnya disebabkan adanya upaya untuk melindungi kaum yang lemah (anak yatim dan janda), dan bukan disebabkan adanya kekurangan pasangan yang tidak dapat dihindari. Selain itu, tidak jarang kasus poligami disebabkan alasan bahwa pemohon adalah seorang yang hiperseksual. Ironisnya, hal ini tampaknya mendapat dukungan dari segelintir hakim, misalnya seperti ungkapan hakim H. Fuad, hakim Bonyolali; poligami dibolehkan dengan didahului oleh sebab-sebab yang wajar, logis dan rasional sebagaimana yang telah diatur UU Indonesia. Menurutnya laig, poligami tidak lebih dari upaya legislasi terhadap realitas kehidupan menusia, khususnya laki-laki, yang terkadang memiliki kecenderungan kebutuhan biologis lebih dibanding wanita. c. KHI bersifat anjuran dan tidak responsif, sehingga dapat menjadi bentuk diskriminasi bagi istri pertama dan kedua Ketentuan hukum Indonesia hanya berupaya mempersulit terjadinya poligami (meskipun kenyataannya masih banyak pengecualian), akan tetapi hukum tidak memberikan solusi bagi pelaku poligami yang gagal dalam praktek poligaminya. Jika misalnya suami gagal untuk berlaku adil, undang-undang Indonesia tidak memberikan sanksi, sehingga suami leluasa untuk berlaku sewenang-wenang setelah berhasil melakukan poligami. Dalam hal ini, lagi-lagi hak wanita untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap haknya terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar