Senin, 07 Maret 2011

laporan kkn

Graphic1.jpgRELAWAN POSKO DESA KEBONDALEM LOR, PRAMBANAN, KLATEN
PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM (PSKH)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sekretariat : Student Center Lt. II R. 43 Jl. Laksda Adisucipto Telp. 085743713935
 

No       : 002/A.2/RLWN-PSKH/XI/2010
Lamp   :  -
Hal       : Ucapan Terimakasih                                                 Kepada Yang Terhormat,
                                                                                                Lp2kis
                                                                                                di -                                                                                                                                                                               Yogyakarta


Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera kami sampaikan, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.
Sehubungan dengan terlaksananya kegiatan Trauma Healing Pengungsi Korban Merapi yang telah diadakan pada tanggal 20 November 2010 di Balai Desa Kebondalem Lor. Kami selaku panitia pelaksana bermaksud meyampaikan ucapan terimakasih kepada lembaga/instansi anda yang telah membantu ikut serta menyukseskan kegiatan tersebut.

Demikianlah surat ucapan terimakasih ini kami buat dengan sebenar-benarnya, agar dapat dijadikan sebagai tindak lanjut dan kerjasama selanjutnya. Semoga Yang Maha Kuasa selalu memberkati usaha kita.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh






Yogyakarta,20 November 2010


Ketua Relawan
Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta





Azim Izzul Islami

materi kuliah zakat wakaf

Asumsi Makro APBN Menurut Ekonomi Syariah Kategori : Muamalah/Ek.Islam | Oleh: Walidi | Tgl posting: 09/07/2010 | Jumlah komentar: 0   Ada yang menarik dari kesepakatan DPR dan pemerintah beberapa hari yang lalu yaitu menjadikan penurunan tingkat kemiskinan sebagai asumsi makro APBN di masa – masa mendatang. Tingkat penurunan kemiskinan sebagai asumsi makro menjadi bagian asumsi makro yang selama ini menjadi pembahasan dalam Badan Anggaran DPR RI yaitu target pertumbuhan, tingkat inflasi, nilai tukar dolar, lifting minyak, harga minyak dan tingkat suku bunga SBI. Sebenarnya asumsi dasar APBN yang berlaku selama ini adalah tingkat pertumbuhan dan inflasi karena dua instrumen inilah yang menjadi kesepakatan dan koordinasi utama antara pengambil kebijakan fiskal (Kemenkeu) dan kebijakan moneter (BI) dalam mengambil kebijakan masing-masing, sedangkan yang lainnya merupakan instrumen pendukung dalam pencapaian kedua target tersebut.
Dengan asumsi dasar makro yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR akan ditentukan besaran target pendapatan yang harus dicapai, belanja yang harus dilaksanakan dan sumber pembiayaan atas defisit APBN. Kevalidan capaian target-target asumsi dimaksud oleh pemerintah dan BI dengan persetujuan DPR di dalam pelaksanaannya dapat kita gunakan sebagai alat untuk menilai sejauhmana keberhasilan/kegagalannya dalam mengelola keuangan negara ini.
Ada yang menarik dari kesepakatan DPR dan pemerintah beberapa hari yang lalu yaitu menjadikan penurunan tingkat kemiskinan sebagai asumsi makro APBN di masa – masa mendatang. Tingkat penurunan kemiskinan sebagai asumsi makro menjadi bagian asumsi makro yang selama ini menjadi pembahasan dalam Badan Anggaran DPR RI yaitu target pertumbuhan, tingkat inflasi, nilai tukar dolar, lifting minyak, harga minyak dan tingkat suku bunga SBI. Sebenarnya asumsi dasar APBN yang berlaku selama ini adalah tingkat pertumbuhan dan inflasi karena dua instrumen inilah yang menjadi kesepakatan dan koordinasi utama antara pengambil kebijakan fiskal (Kemenkeu) dan kebijakan moneter (BI) dalam mengambil kebijakan masing-masing, sedangkan yang lainnya merupakan instrumen pendukung dalam pencapaian kedua target tersebut.
Dengan asumsi dasar makro yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR akan ditentukan besaran target pendapatan yang harus dicapai, belanja yang harus dilaksanakan dan sumber pembiayaan atas defisit APBN. Kevalidan capaian target-target asumsi dimaksud oleh pemerintah dan BI dengan persetujuan DPR di dalam pelaksanaannya dapat kita gunakan sebagai alat untuk menilai sejauhmana keberhasilan/kegagalannya dalam mengelola keuangan negara ini.
Penetapan target tingkat kemiskinan sebagai asumsi makro APBN merupakan hal yang baru dalam pembahasan APBN kita. Bagaimana sebenarnya ekonomi syariah memandang instrumen yang seharusnya digunakan sebagai asumsi APBN? Dalam pengelolaan keuangan publik islami sejatinya terdapat nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam penetapan asumsi makro APBN yaitu

1.      Prinsip Keadilan, tujuan dasar dari kebijakan fiskal Islam adalah distribusi pendapatan. Hal ini dicerminkan dalam kebijakan zakat. Oleh karena itu sebenarnya hal tersebut dapat ditransformasikan ke dalam ukuran-ukuran keadilan dalam kebijakan fiskal kita yaitu misalnya menjadikan indek gini ratio sebagai asumsi makro APBN. Dengan alat ini pemerintah ditargetkan untuk meningkatkan pemerataan atas hasil – hasil pembangunan. Adalah tidak logis sebenarnya negara yang berdasarkan Pancasila ini seratus lima puluh orangnya memiliki kekayaan yang lebih tinggi dari belanja seluruh APBN pusat. Laporan terakhir menyebutkan kekayaan 150 orang di Indonesia saat ini sebesar 550 triliun rupiah jauh diatas belanja seluruh kementerian/lembaga termasuk seluruh anggaran untuk membangun seluruh jalan, belanja persenjataan, biaya aparatur, biaya pendidikan yang tahun 2010 ini seluruhnya (belanja kementerian/lembaga) hanya sebesar 300 triliun. Terus dalam kondisi ini bagaimana sebenarnya dengan pengamalan sila kelima dari Pancasila. Bukankah dalam tujuan negara yang didengungkan oleh pendiri bangsa yaitu ’masyarakat adil dan makmur’, dimana kata adil didahulukan daripada makmur.
2.       Penetapan tingkat pengentasan kemiskinan sebagai target makro ekonomi hakekatnya sejalan dengan ekonomi syariah. Hal ini sejalan dengan nilai ajaran zakat yang mengamanatkan minimal 25% penerimaaan zakat untuk pengentasan kemiskinan sehingga dua asnaf yang mewakili kepentingan tersebut yaitu fakir dan miskin dialokasikan secara langsung dari 25% dari penerimaan zakat. Penetapan penurunan angka kemiskinan sebagai asumsi APBN adalah sangat positif dengan ketentuan angka tingkat capaian pengentasan kemiskinan tersebut dalam pelaksanaannya benar- benar dapat diyakini kevalidannya serta dengan kejelasan kriteria pengukurannya.
3.       Penurunan tingkat pengangguran sebagai target makro capaian APBN. Dalam hal tertentu angka pengentasan kemiskinan tidak sejalan dengan tingkat pengangguran. Oleh karena itu tingkat pengangguran kiranya perlu juga dijadikan target asumsi makro dan kontrak kinerja pemerintah. Karena bekerja bagi seseorang adalah sebuah penghargaan, identitas diri dsb. Maka hal ini harus diprioritaskan oleh pemerintah. Hal ini sejalan dengan penekanan nilai zakat terhadap orang – orang yang berusaha sehingga terhadap orang yang berhutang karena untuk usaha/bekerja dibantu oleh negara.
4.       Penetapan nilai rupiah terhadap emas sebagai pengganti dolar yang selama ini menjadi bench mark dalam penyusunan APBN. Ini mungkin akan sangat mendasar dan kontroversial karena terkait dengan berbagai implikasi kebijakan moneter namun hal tersebut harus mulai diwacanakan karena untuk menuju pengelolaan kebijakan fiskal yang benar-benar berbasis nilai-nilai islami. Disamping itu perlu penetapan nilai tukar rupiah tidak ke dalam dolar semata namun dapat didiversifikasikan ke dalam Uero dan Cina. Karena sadar atau tidak untuk membuat dunia yang lebih berkeadilan maka dominasi dolar harus mulai dikurangi dengan tidak menjadikannya satu-satunya benchmark mata uang rupiah.
5.       Maksimal dana yang boleh mengendap di perbankan misalnya sekian persen dari uang yang ada. Asumsi ini untuk menjamin agar dana diperbankan benar- benar dapat bergerak ke sektor riil. Yang mendesak saat ini sebenarnya disamping hal – hal tersebut adalah kebijakan yang dapat ditargetkan oleh pemeirntah dalam APBN adalah bagaimana agar pemerintah dan BI ditekan untuk membuat kebijakan yang mampu menggelontorkan dana perbankan yang saat ini enggan bergerak ke sektor riil. Ini barangkali juga mendesak untuk menjadikan target kebijakan fiskal sekaligus kalau memungkinkan sebagai asumsi APBN.

”Karena sejatinya dengan nilai islam yang universal, maka tidak harus menunggu khilafah kita dapat terapkan nilai ekonomi syariah dalam kebijakan fiskal Indonesia.

Menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan social ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin (Kahf,1999).

Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah satu implementasi azas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. Menurut M.A Mannan (1993) zakat mempunyai enam prinsip yaitu :


1. prinsip keyakinan keagamaan; yaitu bahwa orang yang membayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya;
2. prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial zakat yaitu membagi
kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada manusia.
3. prinsip produktifitas; menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu setelah lewat jangka waktu tertentu.
4. prinsip nalar; sangat rasional bahwa zakat harta yang menghasilkan itu harus
dikeluarkan.
5. prinsip kebebasan; zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas
6. prinsip etika dan kewajaran; yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena

Menurut Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai keadilan social ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin (Kahf,1999).

Muhammad Daud Ali menerangkan bahwa tujuan zakat adalah : (1) mengangkat derajat fakir miskin; (2) membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil dan mustahik lainnya; (3) membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya; (4) menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta; (5) menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin; (6) menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama yang memiliki harta; (8) mendidik manusia untuk berdisiplin menunaika kewajiban dan menyerahkan hak orang lain padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial (Ali, 1988).

Sedangkan menurut M.A. Mannan, secara umum fungsi zakat meliputi bidang moral,sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati sikaya. Sedangkan dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat. 

Di bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan negara. Makalah ini menyoroti tentang sumber-sumber zakat dalam sistem perekonomian modern dimana dengan perkembangan sumber-sumber ekonomi maka seharusnya sumber zakat pun berkembang, karena tujuan zakat adalah transfer kekayaan dari masyarakat yang kaya kepada masyarakat yang kurang mampu, sehingga setiap kegiatan yang merupakan sumber kekayaan harus menjadi sumber zakat.

Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu adalah sebagai berikut:
1. Harta yang berharga, seperti emas dan perak.
2. Hasil tanaman dan tumbuh-tumbuhan, seperti padi, gandum, kurma, anggur.
3. Binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.
4. Harta perdagangan.
5. Harta galian termasuk juga harta rikaz.

Adapun orang yang berhak menerima zakat adalah:
1.      Fakir, ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.
2.      Miskin, ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan pendapatannya sehingga ia selalu dalam keadaan kekurangan.
3.      Amil, ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat untuk dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.
4.      Muallaf, ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya, diberi zakat agar menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari agama Islam.
5.      Riqab, ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan berusaha untuk menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.
6.      Gharim, ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan membayarnya.
7.      Fi sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan Islam.

Prinsip-prinsip Pengelolaan Zakat

Dalam pengelolaan zakat terdapat beberapa prinsip-prinsip yang harus diikuti dan ditaati agar pengelolaan dapat berhasil sesuai yang diharapkan, diantaranya :

1.      Prinsip Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat hendaknya dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
2.      Prinsip Sukarela, artinya bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan zakat hendaknya senantiasa berdasarkan pada prisip sukarela dari umat islam yang menyerahkan hatta zakatnya tanpa ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang dianggap sebagai suatu pemaksaan.
3.      Prinsip Keterpaduan, artinya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus dilakukan secara terpadu diantara komponen-komponen yang lainnya.
4.      Prefesionalisme, artinya dalam pengelolaan zakat harus dilakukan oleb mereka yang ahli dibidangnya., baik dalam administrasi, keuangan dan sebaginya.
5.      Prinsip Kemandirian, prinsip ini sebenamya merupakan kelanjutan dari prinsip prefesionalisme, maka diharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat dapat mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu mengunggu bantuan dari pihak lain.

Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana landasan pengintegrasikan zakat ke dalam kebijakan fiskal. Hal ini membawa kepada pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana pengaruh teori-teori tentang kebijakan fiskal terhadap hukum zakat. Pembahasan ini menjadi penting karena kebanyakan penulisan tentang zakat selalu dihadapkan secara diametral dengan pajak sehingga persoalan dikotomi zakat dan pajak terus berlarut-larut. 

Sementara bagi yang telah mencoba mengintegrasikannya, belum mencoba melihat zakat dalam kerangka teori kebijakan fiskal dan melihat pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya terhadap hukum zakat dan mendiskusikan bagaimana perubahan-perubahan tersebut menjadi mungkin. Halaman-halaman berikut akan mendiskusikan kedudukan zakat jika diadopsi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal, terutama pengaruhnya terhadap hukum (fiqh) zakat. Terlebih dahulu akan dibahas sekilas mengenai kebijakan fiskal dan kedudukan pajak di dalamnya.

Tujuan kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam berbeda dari ekonomi konvensional, namun ada kesamaan yaitu dari segi sama-sama menganalisis dan membuat kebijakan ekonomi. Tujuan dari semua aktivitas ekonomi - bagi semua manusia - adalah untuk memaksimumkan kesejahteraan hidup manusia, dan kebijakan publik adalah suatu alat untuk mencapai tujuan tersebut.[3] Pada sistem konvensional, konsep kesejahteraan hidup adalah untuk mendapatkan keuntungan maksimum bagi individu di dunia ini. Namun dalam Islam, konsep kesejahteraannya sangat luas, meliputi kehidupan di dunia dan di akhirat serta peningkatan spiritual lebih ditekankan daripada pemilikan material.

Kebijakan fiskal dalam ekonomi kapitalis bertujuan untuk
(1) pengalokasian sumber daya secara efisien;
(2) pencapaian stabilitas ekonomi;
(3) mendorong pertumbuhan ekonomi; dan
(4) pencapaian distribusi pendapatan yang sesuai[4] Sebagaimana ditunjukkan oleh Faridi dan Salama (dua ekonom muslim) bahwa tujuan ini tetap sah diterapkan dalam sistem ekonomi Islam walaupun penafsiran mereka akan menjadi berbeda. 

Jadi Kebijakan fiskal merupakan salah satu dari piranti kebijakan ekonomi makro.
[5] Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan penerimaan pemerintah sehingga menimbulkan gagasan untuk dengan sengaja mengubah-ubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah guna memperbaiki kestabilan ekonomi. Teknik mengubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah inilah yang dikenal dengan kebijakan fiskal.[6] 

Salah satu solusi teknis yang ditawarkan oleh kalangan muslim dalam menjawab tantangan ekonomi global dengan mengkampanyekan penerapan zakat secara holistik. Zakat jangan hanya dipahami sebagai satu instrument syari'ah semata, tapi lebih jauh zakat harus sudah diyakini sebagai satu sistem yang berlandaskan al-`Adl wal Ihsan (keadilan dan kerjasama). Zakat mempunyai dimensi sosial yang berlandaskan atas altruisme bukan bedasarkan egoisme karena zakat adalah ibadah maaliyah ijtima'iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat 

Muhammad Abdul Mannan ,salah seorang pemikir ekonomi islam di era kontemporer memandang zakat sebagai poros utama keuangan public Islam .Ia bukan pula pajak namun justru dipandang sebagai sumber utama pendapatan dan juga " a religious obligation" Muhammad Abdul Mannan menegaskan bahwa keunikan zakat sekalipun ia harus mengeluarkan harta sebagai pemenuhan kewajiban dari lima rukun islam .Akan tetai zakat malah seharusny mendorong bahwa Zakat memang tidak memilik effek merugikan dalam motivasi berkerja . Malah yang terjadi adalah sebaliknya membangkitkan semangat untuk berkerja.

Fahad Al Hiyami, adalah salah satu Pengasuh Pondok  Buntet Pesantren